Senin, 05 Maret 2012

Mardiem, Jugun Ianfu (budak seks) tentara kerajaan Jepang

Masa penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan masa kelam bagi perempuan Indonesia, masa remaja mereka direnggut secara paksa dan dijadikan Jugun Ianfu (budak seks) tentara kerajaan Jepang. Masa remaja mereka direnggut secara paksa&dijadikan Jugun Ianfu (budak seks) tentara kerajaan Jepang. Hal tersebut diawali karena saat itu Jepang Melakukan invansi dan perang ke negara lain yang akhirnya membuat kelelahan mental tentara Jepang.
Kondisi tersebut mengakibatkan tentara Jepang melakukan pelampiasan seksual secara brutal dengan cara melakukan perkosaan masal.Jepang merekrut perempuan – perempuan lokal, menyeleksi kesehatan dan memasukannya ke dalam Ianjo – lanjo sebagai rumah bordil militer Jepang. Mereka direkrut dengan cara halus spt dijanjikan sekolah gratis, menjadi pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, atau pelayan rumah makan. Namun ada jg yg direkrut dengan cara yang kasar yakni diteror dan disertai dgn tindak kekerasan, menculik bahkan diperkosa di depan keluarga.
Selain dari Indonesia, Jugun ianfu jg berasal dari Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina, Taiwan, Timor Leste, dan juga Malaysia. Bahkan beberapa Jugun Ianfu berasal dari Belanda dan Jepang sendiri. Sebagian kecil Jugun Ianfu yang teridentifikasi berasal dari pulau Jawa adalah seperti Mardiyem, Sumirah, Emah Kastimah, Sri Sukanti dan Wainem. Masih banyak Jugun Ianfu Indonesia yang masih hidup atau sudah meninggal dunia yang belum dapat terlacak keberadaannya.
Pembangunan Ianjo di Cina dijadikan model untuk pembangunan Ianjo – lanjo di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia. Dan sebagai informasi, Ianjo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932. Sejak pendudukan Jepang, telah dibangun Ianjo diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra dan Papua.
Diperkirakan jumlah wanita yang menjadi budak seks termasuk dari negara lain pada saat perang, berkisar antara 20.000-30.000 wanita. Pada masa itu, tentara Jepang bahkan mengkoordinir sistem kerja paksa seksual terhadap ribuan wanita penghibur di Asia. Bahkan, banyak remaja belia yang mengalami kekerasan seksual di gudang pabrik, gerbong kereta, maupun di rumah. Hingga 2011, Ada 1.156 wanita yang teridentifikasi menjadi Jugun Ianfu, dimana kisah mereka dibungkam oleh sejarah masa lalu. Selama ini kisah perjuangan wanita penghibur tersebut memang tidak pernah diceritakan dalam buku teks pendidikan sejarah Indonesia.
Mardiyem salah satu wanita yang dulu pernah menjadi budak seks tentara Jepang, lahir di Yogyakarta pada 1929. Mardiyem hanya bersekolah hingga kelas II sekolah rakyat (SR) di Yogyakarta, namun ia terlahir sebagai seniman handal. Mardiyem mahir menyanyi keroncong dan sering tampil di pergelaran sandiwara di kampungnya.
Pada masa penjajahan tahun 1942, Mardiyem ditawari main sandiwara oleh seorang Jepang. Usia Mardiyem baru 13 tahun dan ia seorang yatim piatu. Kakaknya yang tinggal dengannya pun mengizinkan untuk menerima tawaran itu.  Tercatat ada 48 perawan Yogyakarta yg diangkut dengan kapal Nichimaru milik Jepang menuju Telawang, Kalimantan Selatan, termasuk Mardiyem.
Di Telawang, mereka dibagi dalam 3 kelompok.Kelompok 1 ditempatkan di restoran Jepang. Kelompok 2 dipekerjakan sebagai pemain sandiwara. Dan kelompok 3 dibawa ke sebuah asrama tentara Jepang. Mardiyem tergabung dalam kelompok 3 yang dibawa ke asrama tentara Jepang yang dipagari bambu tinggi. Orang menyebut tempat itu sebagai ian jo. Dimana di tempat itu terdapat puluhan kamar berjejer teratur.
Cikada, pengurus asrama, memberi nama Jepang kepada gadis – gadis itu. Mardiyem diberi nama Momoye, setelah terinspirasi dari cantiknya bunga kembang kertas yang dalam bahasa Jepang disebut Momoye. Setelah diperiksa dokter, para gadis diperintahkan menempati kamar masing – masing yang sempit, dan tercatat berukuran tidak lebih dari 2 motor persegi. Mardiyem menempati kamar no. 11 dan ia ditipu karena mulai saat itu ia resmi sebagai Jugun Ianfu.
Menurut kesaksian Mardiyem, pria jepang pertama yang harus dilayani adalah pria Jepang berewok, yang masuk kekamarnya dengan membawa karcis. Walau Mardiyem telah berontak, namun akhirnya ia kehilangan keperawanannya saat itu. Selama tiga tahun Mardiyem dikurung di kamar nomor 11. Dan setiap hari ia harus melayani 5-10 orang lelaki.Bukan saja kekerasan seksual, namun pukulan, tamparan, dan tendangan menjadi makanan sehari-hari jika Mardiyem menolak melayani.
Menurut Mardiyem, untuk makan yang hanya dijatah satu kali sehari sering tak sempat ia makan.Para pengunjung ian jo memang harus membeli karcis untuk bisa memperkosa Mardiyem dan kawan – kawannya.Semakin malam, harga karcis semakin mahal, dimana setiap jugun ianfu harus mengumpulkan karcis yang dibawa oleh para tamu. Karcis – karcis yang dikumpulkan bisa ditukarkan dengan uang di kemudian hari. Namun, tiga tahun berlalu, para gadis itu tidak menerima satu sen uang pun. Padahal, selama tiga tahun Mardiyem telah mengumpulkan satu keranjang karcis.
Cikada pernah memanggil Mardiyem ke kantornya. Mardiyem dibawa ke rumah sakit, karena Mardiyem yg saat itu berusia 15 tahun, hamil. Namun, saat itu petugas rumah sakit menggugurkan paksa kandungan Mardiyem tanpa bius. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Mardiyem dan rekan-rekannya lepas dari cengkeraman tentara Jepang.

Sumber: twitter @sejarahRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar