Rabu, 28 November 2012

27Nov11

Sudah setahun tepat kita saling berkenalan.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu.
Banyak cerita yang kita lewati bersama.

Senang telah mengenal dirimu.
Bahagia bisa menjadi bagian dari hidup.
Semoga selamanya akan seperti ini.

Aku yang menjadi sahabat kakak juga kekasihmu.

#Special for Mrs.N

Senin, 07 Mei 2012

Gunung Gandang Dewata, Top West Celebes #3037Mdpl

H-2 Parkiran FH-UH.

Tim Operasi: Ki-Ka (Kury, Iccang, Adam, Rahmat, Afham, Zul, Acca).

H-1 Sekret MPA Klorofil Universitas Tomakaka Mamuju.

H+1 ngetem mobil gratisan.

Ini dia mobil gratisannya, mobil pengangkut semen.

Jalan pengerasan ditempuh satu harian perjalanan menuju desa terakhir, melewati kebun kopi dan kakao warga dengan suguhan pemandangan alam menjadi teman selama perjalannan yang cukup melelahkan ini untuk menuju desa terakhir.

Istirahat di sebuah perkampungan dengan sambutan warga yang ramah, matahari hari ini terik sekali.

H+2 Berfoto bersama anak gunung yang penuh dengan cita-cita, gantungkan cita-citamu setinggi langit adik-adikku. #GBU

Sekolah Dasar yang berada sebelum desa terakhir dengan fasilitas sekolah yang seadanya, mirisnya hanya ada 1 kepsek juga sebagai guru, 1 guru PNS, 2 guru honorer.

Desa terakhir.

Ini dia jembatan gantung yang super-super ekstrim, hanya ada satu papan dan kawat sebagai pengikat disepanjang jembatan ini, di bawahnya ada sungai yang beralir deras penuh dengan batu dan kalau jatuh kita hanya bisa gaya dadaaaaa.

Survival air karena persediaan air kami habis, kata pendaki tak ada air rotan pun jadi, lumayanlah setetes air kenikmatan dari batang rotan membasahi tenggorokan.

Haus apa lapar bro? #haha

Masih survival air #airrrairrr

H+4 Pos X lokasi Camp ke-3.

Summit Attack kemiringan 80 derajat cuyyy.

Top 3037Mdpl (UKM PA CAREFA UNHAS - MPA KLOROFIL UNIKA)

Top West Celebes Gunung Gandang Dewata 3037Mdpl. #VivaCarefaForever

Suku Rambut Kotor #whulalala
 duduk ki-ka (Zul, Acca) berdiri ki-ka (Adam, Iam, Kury)

Ngopi di 3037Mdpl ini baru keren.

Viva Carefa Foreverrrrrr !

H+5 Istirahat di gubuk kebun kakao.

Foto bersama dengan keluarga bapak Gerson, beliau tokoh masyrakat sekaligus Kades Tabulahan,
meskipun hanya tamatan SD beliau mempunyai semangat tinggi untuk kemajuan desanya. #SalutPak #Lanjutkan

Gunung Latimojong, Top Celebes #3430Mdpl

H-1 parkiran FH-UH,  sesi upacara pelepasan tim pendaki Top Celebes 3430Mdpl.

H+1

Start Kecamatan Baraka Dusun Banca, menggunakan mobil sewa untuk menuju percabangan Dusun Angin-angin dan Dusun Rante Lemo, dari percabangan itu perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 1 jam, sebaiknya melewati jalur Dusun Angin-angin karena medan jalan agak landai dibanding lewat jalur Dusun Rante Lemo.

Eksis

Si Tangguh.
H+3 Top Celebes Gunung Latimojong 3430Mdpl. #VivaCarefaForever

Senin, 05 Maret 2012

Mardiem, Jugun Ianfu (budak seks) tentara kerajaan Jepang

Masa penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan masa kelam bagi perempuan Indonesia, masa remaja mereka direnggut secara paksa dan dijadikan Jugun Ianfu (budak seks) tentara kerajaan Jepang. Masa remaja mereka direnggut secara paksa&dijadikan Jugun Ianfu (budak seks) tentara kerajaan Jepang. Hal tersebut diawali karena saat itu Jepang Melakukan invansi dan perang ke negara lain yang akhirnya membuat kelelahan mental tentara Jepang.
Kondisi tersebut mengakibatkan tentara Jepang melakukan pelampiasan seksual secara brutal dengan cara melakukan perkosaan masal.Jepang merekrut perempuan – perempuan lokal, menyeleksi kesehatan dan memasukannya ke dalam Ianjo – lanjo sebagai rumah bordil militer Jepang. Mereka direkrut dengan cara halus spt dijanjikan sekolah gratis, menjadi pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, atau pelayan rumah makan. Namun ada jg yg direkrut dengan cara yang kasar yakni diteror dan disertai dgn tindak kekerasan, menculik bahkan diperkosa di depan keluarga.
Selain dari Indonesia, Jugun ianfu jg berasal dari Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina, Taiwan, Timor Leste, dan juga Malaysia. Bahkan beberapa Jugun Ianfu berasal dari Belanda dan Jepang sendiri. Sebagian kecil Jugun Ianfu yang teridentifikasi berasal dari pulau Jawa adalah seperti Mardiyem, Sumirah, Emah Kastimah, Sri Sukanti dan Wainem. Masih banyak Jugun Ianfu Indonesia yang masih hidup atau sudah meninggal dunia yang belum dapat terlacak keberadaannya.
Pembangunan Ianjo di Cina dijadikan model untuk pembangunan Ianjo – lanjo di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia. Dan sebagai informasi, Ianjo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932. Sejak pendudukan Jepang, telah dibangun Ianjo diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra dan Papua.
Diperkirakan jumlah wanita yang menjadi budak seks termasuk dari negara lain pada saat perang, berkisar antara 20.000-30.000 wanita. Pada masa itu, tentara Jepang bahkan mengkoordinir sistem kerja paksa seksual terhadap ribuan wanita penghibur di Asia. Bahkan, banyak remaja belia yang mengalami kekerasan seksual di gudang pabrik, gerbong kereta, maupun di rumah. Hingga 2011, Ada 1.156 wanita yang teridentifikasi menjadi Jugun Ianfu, dimana kisah mereka dibungkam oleh sejarah masa lalu. Selama ini kisah perjuangan wanita penghibur tersebut memang tidak pernah diceritakan dalam buku teks pendidikan sejarah Indonesia.
Mardiyem salah satu wanita yang dulu pernah menjadi budak seks tentara Jepang, lahir di Yogyakarta pada 1929. Mardiyem hanya bersekolah hingga kelas II sekolah rakyat (SR) di Yogyakarta, namun ia terlahir sebagai seniman handal. Mardiyem mahir menyanyi keroncong dan sering tampil di pergelaran sandiwara di kampungnya.
Pada masa penjajahan tahun 1942, Mardiyem ditawari main sandiwara oleh seorang Jepang. Usia Mardiyem baru 13 tahun dan ia seorang yatim piatu. Kakaknya yang tinggal dengannya pun mengizinkan untuk menerima tawaran itu.  Tercatat ada 48 perawan Yogyakarta yg diangkut dengan kapal Nichimaru milik Jepang menuju Telawang, Kalimantan Selatan, termasuk Mardiyem.
Di Telawang, mereka dibagi dalam 3 kelompok.Kelompok 1 ditempatkan di restoran Jepang. Kelompok 2 dipekerjakan sebagai pemain sandiwara. Dan kelompok 3 dibawa ke sebuah asrama tentara Jepang. Mardiyem tergabung dalam kelompok 3 yang dibawa ke asrama tentara Jepang yang dipagari bambu tinggi. Orang menyebut tempat itu sebagai ian jo. Dimana di tempat itu terdapat puluhan kamar berjejer teratur.
Cikada, pengurus asrama, memberi nama Jepang kepada gadis – gadis itu. Mardiyem diberi nama Momoye, setelah terinspirasi dari cantiknya bunga kembang kertas yang dalam bahasa Jepang disebut Momoye. Setelah diperiksa dokter, para gadis diperintahkan menempati kamar masing – masing yang sempit, dan tercatat berukuran tidak lebih dari 2 motor persegi. Mardiyem menempati kamar no. 11 dan ia ditipu karena mulai saat itu ia resmi sebagai Jugun Ianfu.
Menurut kesaksian Mardiyem, pria jepang pertama yang harus dilayani adalah pria Jepang berewok, yang masuk kekamarnya dengan membawa karcis. Walau Mardiyem telah berontak, namun akhirnya ia kehilangan keperawanannya saat itu. Selama tiga tahun Mardiyem dikurung di kamar nomor 11. Dan setiap hari ia harus melayani 5-10 orang lelaki.Bukan saja kekerasan seksual, namun pukulan, tamparan, dan tendangan menjadi makanan sehari-hari jika Mardiyem menolak melayani.
Menurut Mardiyem, untuk makan yang hanya dijatah satu kali sehari sering tak sempat ia makan.Para pengunjung ian jo memang harus membeli karcis untuk bisa memperkosa Mardiyem dan kawan – kawannya.Semakin malam, harga karcis semakin mahal, dimana setiap jugun ianfu harus mengumpulkan karcis yang dibawa oleh para tamu. Karcis – karcis yang dikumpulkan bisa ditukarkan dengan uang di kemudian hari. Namun, tiga tahun berlalu, para gadis itu tidak menerima satu sen uang pun. Padahal, selama tiga tahun Mardiyem telah mengumpulkan satu keranjang karcis.
Cikada pernah memanggil Mardiyem ke kantornya. Mardiyem dibawa ke rumah sakit, karena Mardiyem yg saat itu berusia 15 tahun, hamil. Namun, saat itu petugas rumah sakit menggugurkan paksa kandungan Mardiyem tanpa bius. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Mardiyem dan rekan-rekannya lepas dari cengkeraman tentara Jepang.

Sumber: twitter @sejarahRI

Marsinah Korban Orde Baru Pahlawan Orde Baru

Jasad Marsinah diketahui publik tergeletak di sebuah gubuk berdinding terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, di dusun Jegong, desa Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih seratus kilometer dari pondokannya di pemukiman buruh desa Siring, Porong. Tak pernah diketahui dengan pasti siapa yang meletakkan mayatnya, siapa yang kebetulan menemukkannya pertama kali, dan kapan? Sabtu 8 Mei 1993 atau keesokan hari Minggunya? Seperti juga tak pernah terungkap melalui cara apapun: liputan pers, pencaraian fakta, penyidikan polisi, bahkan para dukun maupun pengadilan, oleh siapa ia dianaya dan di(ter)bunuh? Di mana dan kapan ia meregang nyawa, Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari sesudahnya? Kita cuma bisa berspekulasi dan menduga-duga. Kita memang bisa mereka-reka motif pembunuhan dan menafsirkan kesimpulannya senidri. Tapi kita tak mampu mengungkap fakta-faktanya. Kunci kematiannya tetap gelap penuh misteri hingga kini, walau tujuh tahun berselang.

Memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang penting kemudian, melainkan jalinan citra yang tersusun melalui serangkain pertarungan wacana yang rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Para aktivis perburuhan menyanjungnya sebagai suri teladan pejuang buruh. Penguasa militer pusat dibantu setempat merekayasa penyelubungan kasusnya sekaligus menyusun skenario peradilan. Kepolisian setempat menyidik tersangka palsu. Para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan perempuan. Para seniman mendramatisasi nasibnya ke dalam lagu, mengabadikanya dalam monumen, patung, lukisan, panggung teater dan seni rupa instalasi. Para aktivis hak asasi menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi kegigihannya. Khalayak awam prihatin dan bersimpati membuka dompet sumbangan bagi keluarganya. Para birokrat serikat pekerja melambangkanya sebagai korban kesewenangan majikan. Keluarganya sendiri yang sederhana, sebagaimana kebanyakan sikap keluarga pedesaan Jawa, menerimanya dengan pasrah dan tabah. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Marsinah, tipikal buruh perempuan desa yang mengkota tapi terpinggirkan, tiba-tiba muncul sebagai pahlawan di tengah hiruk pikuk industrialisasi manufaktur dan represi penguasa di pertengahan dasawarsa 90-an. Ia bukan hanya mewakili ‘nasib malang’ jutaan buruh perempuan yang menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat karya berupah rendah, berkondisi kerja buruk, dan tak terlindungi hukum, tapi pembunuhannya yang dimediasikan dan diartikulasikan oleh media massa menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat, birokrasi militer, kepolisian, dan sistem peradilan.
Marsinah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya, lahir dari pasangan Astin dan Sumini di desa Nglundo, kecamatan Sukomoro, kabupaten Nganjuk. Ibunya meninggal saat ia berusia 3 tahun (lahir 1968) dan adiknya Wijiati berumur 40 hari. Ayahnya kemudian menikah lagi dengan dengan Sarini, perempuan dari desa lain. Sejak itulah Marsinah kecil diasuh neneknya, Paerah, yang tinggal bersama paman dan bibinya, pasangan Suraji-Sini.
Tak ada yang istimewa dari masa kecil Marsinah. Ia tipikal anak perempuan kalangan menengah pedesaan yang hidup subsisten, tak terlampau miskin, walaupun tidak kaya. Seperti mayoritas anak-anak pedesaan di Indonesia, juga di negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya, ia sudah bekerja pada usia dini dan tampak lebih dewasa dari usianya. Bekerja bagi mereka sangat lazim, termasuk kerja upahan di rumah maupun di pabrik. Sepulang sekolah, ia membantu neneknya menjual beli gabah dan jagung, dan menerima sekedar upah untuk mengangkut gabah dengan bersepeda dari sawah atau rumah orang yang gabahnya sudah dibeli.
Di kalangan teman-teman dan gurunyanya, di SD Negeri Nglundo, meskipun kepandaiannya dipandang biasa-biasa saja, tapi kerajinan, minat baca, sikap kritis dan tanggungjawabnya menonjol. Setiap tugas sekolah selalu berupaya diselesikannya. Jika ada penuturan gurunya yang kurang jelas, tak segan ia mengacungkan tangan meminta penjelasan. Setelah naik kelas VI, ia pindah ke SDN Karangsemi, dan kemudian melanjutkan ke SMP Negeri V Nganjuk pada tahun ajaran 1981/82. Di sinilah, sebagaimana harapan banyak anak Indonesia sesusianya, cita-citanya terbentuk. Mencoba melanjutkan ke SMA Negeri, namun gagal, dan akhirnya ke SMA Muhammadiyah dengan bantuan biaya seorang pamannya yang lain. Di SLTA, minat bacanya semakin meluas. Di waktu senggang ia lebih banyak ke perpustakaan ketimbang bermain. Lagi-lagi seperti banyak gadis desa sebayanya, cita-citanya untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum kandas, karena keluarganya tak mampu membiayai kuliah.
Tak ada pilihan lain kecuali mencari lapangan kerja di kota besar. Tahun 1989, ia ke Surabaya, menumpang di rumah kakaknya, Marsini, yang sudah berkeluarga. Setelah berkali-kali melamar kerja ke berbagai perusahaan, akhirnya Marsinah diterima bekerja pertama kali di pabrik plastik SKW kawasan industri Rungkut. Gajinya jauh dari cukup. Untuk memperoleh tambahan penghasilan ia nyambi jualan nasi bungkus di sekitar pabrik seharaga Rp.150,-/bungkus. Sebelum akhirnya, tahun 1990, bekerja di PT Catur Putra Surya –Rungkut, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang. Urbanisasi, berdagang untuk penghasilan tambahan, dan berpindah kerja dari satu pabrik ke pabrik lainnya untuk mendapatkan upah yang lebih layak, merupakan kisah klasik buruh perempuan di Jawa sejak awal dasawarsa 80-an.
Di pabrik pembuatan arloji di Rungkut, Surabaya, dengan beberapa kawannya, Marsinah menuntut berdirinya unit serikat pekerja formal (SPSI). Tuntutan inilah mungkin membuatnya dipindah pihak menejemen ke pabrik PT CPS lainnya di Porong, Sidoarjo pada awal tahun 1992. Ia mondok di pemukiman sekitar pabrik, desa Siring, dan bekerja sebagai operator mesin bagian injeksi dengan upah Rp. 1.700,- dan uang hadir Rp. 550,- per hari.
Di pabrik itu, seperti kebanyakan buruh lainnya, Marsinah bukanlah termasuk kelompok aktivis. Ia tidak masuk dalam kepengurusan unit kerja SPSI di pabrik ini maupun ikut kelompok informal buruh yang sering berdiskusi membahas kondisi kerja mereka. Waktu luangnya dimanfaatkan secara pribadi untuk mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Belajar menambah pengetahuan menjadi hasratnya sejak bersekolah dulu, karena ia percaya melalui pendidikanlah masa depan seseorang menjadi lebih baik. Suatu common sense yang dianut banyak orang.
Pemogokan buruh untuk meningkatkan posisi berunding mereka merupakan hal umum pada ribuan perusahaan manufaktur di berbagai kawasan industri sejak akhir dasawarsa 80-an. Akibat kebijakan upah buruh murah pemerintah dan industrialisasi berorientasi ekspor, sengketa perburuhan meluas. Intensitas dan skala pemogokan meningkat luar biasa sejak awal 90-an. Tiada hari tanpa pemogokan atau unjuk rasa. Meskipun lebih bersifat spontan atau sporadis, sangat jarang terjadi gelombang pemogokan yang terorganisasikan. Sebabnya sangat jelas, karena lemah atau dilemahkannya serikat buruh serta kendali represif pemerintah yang sangat kokoh melalui birokrasi sipil dan militernya hingga ke kawasan pabrik. Dalam konteks ekonomi-politik inilah tuntutan buruh-buruh PT CPS di akhir April 1993 dan pemogokan mereka, 3-4 Mei 1993, yang berujung pada pembunuhan Marsinah, musti diletakkan.
Tetapi dalam seluruh aktivitas perundingan yang melibatkan 24 orang perwakilan buruh (15 di antaranya wakil buruh yang dipilih spontan, dan sisanya 9 orang pengurus SPSI setempat) maupun aksi mogok di PT CPS, 3-4 Mei tersebut, Marsinah tak pernah ikut serta. Pada pemogokan 4 Mei, saat perundingan berlangsung antara wakil buruh dan para birkorat yang melibatkan pejabat Depnaker, DPC SPSI, Kanwil Sospol Sidorjo dan jajaran Muspika setemapat termasuk wakil Polsek dan Danramil Sidorjo, berlangsung di kantor pabrik, ia malah bekerja seperti biasa. Sementara, pagi hingga menjelang siang itu juga, seorang kawannya yang dituding sebagai pemrakarsa pemogokan tengah memenuhi surat panggilan Kodim dan dinterogasi di Makodim Sidoarjo.
Perundingan yang tidak melibatkan pihak perusahaan itu sendiri berjalan lancar. Meskipun ada beberapa kompromi, hampir semua butir tuntutan buruh terpenuhi. Kecuali tuntutan yang lebih ‘politis’ seperti pembubaran unit kerja SPSI yang dianggap tidak berfungsi mewakili kepentingan mereka. Hal-hal yang dalam wacana pemerintah dipandang sebagai soal-soal normatif seperti kenaikan upah sesuai peraturan UMR, perhitungan upah lembur, cuti haid dan cuti hamil, dijanjikan pihak perusahaan.
Meskipun demikian, dalam kerangka bekerjanya rejim pengandali buruh di Indonesia, seperti di negara-negara miltary-beareucratic-authoritarian lainnya, aparat militer menduduki peran sentral. Mereka bukan hanya centéng yang menjadi penjaga malam kepentingan para pemodal, tapi lebih dari itu adalah patron yang kekuasaannya melampaui imperatif kepentingan modal. Sudah menjadi rahasia umum, jajaran birokrasi komando teretorial Orde Baru memperoleh sumber daya ekonominya dari memeras para pengusaha. Baik buruh maupun majikan disandera untuk menciptakan ancaman satu sama lain. Dari ancaman itulah birokrasi militer memperoleh uang. Pada momen tertentu, meski tak harus melalui upaya provokasi, pemogokan buruh dijadikan senjata untuk menodong para pemilik perusahaan agar mereka rela mengeluarkan biaya-biaya keamanan. Pada momen yang lain, dan ini yang sering terjadi, buruh-buruh diancam, diintimidasi dan dikontrol sepenuhnya dalam kendali mereka, bukan kendali pabrik.
Apa yang terjadi sore hari 4 Mei 1993 adalah awal dari ujung kematian Marsinah. Menyimpang dari ‘logika’ suksesnya sebuah perundingan, 13 buruh PT CPS yang dicap sebagai dalang oleh penguasa militer setempat dipanggil melalui surat yang ditandatangani sekretaris kelurahan Desa Siring agar menghadap Pasi Intel Kodim 0816 Sidoarjo. Malamnya, di pemukiman buruh sekitar pabrik, mengetahui teman-temanya besok akan dipanggil, Marsinah menulis suatu catatan kepada seorang temannnya. Isinya semacam petunjuk jawaban bagi rekan-rekannya bila mereka dinterogasi di Kodim. Ia pun mengatakan pada kepada rekan-rekannya, bila mereka diancam Kodim, ia akan membawa perosalan ini ke seorang pamannya di Kejaksaan Surabaya.
Rabu 5 Mei 1993, 13 buruh PT CPS memenuhi panggilan Kodim. Di markasnya, Sidoarjo, mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri di atas kertas bermaterai dengan berbagai intimidasi maupun bujukan, termasuk akan diberi uang pesangon dan ‘uang kebijaksanaan’. Tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali patuh, menandatangani surat tersebut. Selepas Maghrib, mereka menerima pembagian uang pesangon yang diberikan langsung oleh pihak menejemen di markas itu. Sempat terlontar dari salah seorang menejer PT CPS bahwa pemecatan tersebut bukan kemauan perusahaan, tapi kehendak Kodim. Suatu kaidah normal dalam logika rejim pengendali buruh.
Sementara itu, sepulang kerja giliran pagi, Marsinah bertemu dengan salah satu temannya dan mengingatkan rencana pertemuan para buruh untuk mendengar informasi rekan-rekannnya yang dipanggil. Di rumah pondokannya, ia membuat surat pernyataan kepada perusahaan, yang dituliskan oleh teman satu kosnya yang juga buruh PT CPS. Sorenya, surat itu difotokopi dan berencana dibagikan ke teman-temannya pada pertemuan malama hari. Tadinya surat itu hendak disampaikan ke perusahaan melalui ketua unit kerja SPSI PT CPS, tapi Marsinah dan seorang temannya yang memboncengkannya dengan motor tidak berhasil menemukan rumah si ketua. Akhirnya ia sampaikkan langsung ke pabrik melalui satpam.
Memenuhi rasa ingin tahu perkembangan ke-13 teman-temannya, sepulang mengantar surat, Marsinah kembali ke pondokan seorang temannya. Menjelang Maghrib, bersama empat temannya mereka memutuskan menyusul ke Kodim untuk mencari kabar. Tiga temannya naik kendaraan umum. Ia sendiri membonceng sepeda motor, dan sempat tersesat hingga pusat kota Sidoarjo. Di Makodim Sidoarjo, tiga temannya sudah tiba lebih dulu. Tapi mereka semua terlambat. Ke 13 temannya sudah kembali pulang. Dalam perjalalan pulang besepeda motor, Marsinah sempat mampir ke beberapa teman buruhnya untuk membagi-bagikan foto kopi surat pernyataannya.
Di perempatan desa Siring, Marsinah bertemu dengan empat dari 13 temannya. Karena silang pembicaraan di antara mereka terlalu ramai, Marsinah mengajak dua orang temannya bercakap-cakap di teras rumah pondokannya. Ia menceritakan bahwa telah membuat surat ke perusahaan dan menunjukkannya. Sebaliknya, Marsinah sangat terkejut dan gusar, ketika mengetahui ke-13 buruh yang dianggap biang pemogokan sudah dipecat di Makodim. Ia tidak menerima pemecatan itu, dan menegaskan akan mengadu ke pamanya yang jaksa di Surabaya itu.
Setalah teman-temannya pamit pulang, Marsinah masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian ia pamit kepada ibu pondokannya untuk ke rumah seorang teman perempuannya. Ia mengenakan kaos putih, rok coklat dan bersandal jepit. Tapi ia tidak bertemu temannya itu karena kerja giliran malam.
Dalam perjalanan kembali ke pondokannya, ia berjumpa dengan dua orang kawannya yang lain, lalu mengajak mereka ke rumah pondokan teman lainnya untuk meminta Surat Persetujuan Bersama hasil perundingan 4 Mei 1993. Baginya surat kesapakatan itu penting untuk memastikan janji pihak perusahaan pada butir 10 kesepakatan tersebut, (kutipan aslinya): “Sehubungan dengan unjuk rasa ini (pemogokan kerja), pengusaha dimohon untuk tidak mencari-cari kesalahan karyawan”
Tetapi kesalahan buruh tetap dicari, dengan akibat pemecatan mereka. Janji tidak dipatuhi. Ia merasa diperlakukan sewenang-wenang, tidak adil. Kuasa otoriter tiba-tiba muncul dihadapannya, mengoyak akal sehatnya. Membuatnya geram, merasa dikhianati. Meskipun belum jelas baginya, siapa yang berkhianat? Pihak perusahaan atau Kodim?
Tak seorangpun dapat mengetahui apa yang ada dalam benak Marsinah malam itu: Rabu 5 Mei 1993. Yang diketahui, sepulang dari rumah temannya yang memberi Surat Persetujuan tersebut, ia mengajak dua kawan yang menemaninya untuk membeli makanan. Tapi karena sudah larut malam, menjelang setangah sepuluh, keduanya menolak. Mereka berpisah di bawah pohon mangga dekat Tugu Kuning, desa Siring.
Sejak saat itulah ia ‘hilang’. Tak ada yang mengetahui kemana Marsinah pergi. Mungkin ia pergi makan, atau bertemu seseorang, yang mungkin ‘menculiknya’. Atau mungkin ia kembali ke Makodim Sidoarjo? Yang bisa dipastikan, ia tidak kembali ke pondokannya malam itu. Ia tidak pergi ke pabrik. Ia juga tidak berkunjung ke rumah pamannya di Surabaya.
Missing link itu tak pernah terungkap di pengadilan sesat yang sarat rekayasa. Majikannya, pemilik PT CPS, para menejer perusahaan, bagian personalia, kepala bagian mesin, dan seorang satpam dan seorang supir perusahaan disekap dan disiksa Bakorstranasda selama 19 hari, di bulan Oktober 1993. Mereka dituduh bersekongkol memperkosa, menganiaya dan kemudian membunuh Marsinah. Bersama Danramil Porong, mereka diadili dan diputus bersalah oleh Pengadilan Militer dan Pengadilan Negeri Sidoarjo, dan diperkuat Pengadilan Tinggir Surabaya setahun kemudian. Meskipun dua tahun kemudian, 3 Mei 1995, mereka divonis bebas Mahkamah Agung, tapi ini hanya menunjukkan betapa sistem peradilan dan hukum kita bukan tempat untuk menegakkan keadilan.
Maka penyelidikan dan penyidikan ulang dilakukan, pertangahan 1995. Kepolisian RI turun tangan. Tim forensik dari Jakarta membongkar ulang (yang ketiga kalinya!) makam Marsinah. Berbagai komentar dan analisa merebak di surat kabar. Komnas HAM mendukung penyelidikan ulang. Panglima ABRI menginstruksikan pengusutan. Bahkan Menaker Abdul Latief berjanji mengungkapnya hingga tuntas, dan Presiden Suharto kala itu mendukungnya. Namun tak ada ‘hasil’ apapaun yang dicapai dari hiruk-pikuk wacana itu. Isu-isu lain menelan kasus ini kembali ke bawah permukaan, dan orang lupa atau coba melupakannya.
Pun saat rejim berganti. Ingatan banyak orang mencuat kembali. Baik pemerintahan Habibie maupun Gus Dur menunjukkan niatnya untuk mengungkap kegegeran lama itu, apapun penyebabnya: tekanan internasional, tuntutan LSM, legitimasi politik, hak asasi manusia, rasa bersalah ataupun upaya sungguh-sungguh untuk menegakkan keadilan, rule of law. Bahkan, terakhir ini, DPRD Jawa Timur sudah meminta keterangan dan penjelasan beberapa perwira tinggi dan intelejen ABRI yang dianggap mengetahui dan bertanggungjawab atas kebijakan rejim saat itu. Mereka semua mengelak. Tak ada informasi yang signifikan, tak ada argumen yang bermakna, tak ada fakta-fakta dan bukit-bukti ‘baru’, yang dapat dijadikan dasar bagi upaya meraih keadilan. Semua pertanyaan kunci sederhana tak pernah terjawab: kapan Marsinah mati, di mana, oleh siapa, dengan cara bagaimana? Atau mungkin memang tak hendak dijawab, oleh siapapun kita.
Kita merasa cukup puas, bahkan terpuaskan, sekedar menyatakan: “Marsinah, seperti halnya sebagaian besar kita, adalah korban dari suatu mesin kekuasaan dan kekerasan, yang bernama Orde Baru”. Dan kita merasa mampu, dengan rasa bangga, menobatkannya menjadi seorang pahlawan, yang mengasingkan dirinya, juga diri kita, dari kehidupan sehari-hari. Karena kita masih menjadi bagian: Orde Baru.
Kompas, Rabu, 28 Juni 2000.
(Referensi: Harry Wibowo, Koordinator Tim Pencari Fakta “Pembunuhan Marsinah” YLBHI. November 1993-Maret 1994)

Minggu, 15 Januari 2012

Gunung Bawakaraeng Selayang Pandang Oleh : Nevy Jamest #copas

I.Pendahuluan
Jika anda berpikir bahwa gunung hanyalah sekedar tumpukan bebatuan, tanah dan pepohonan yang tinggi; maka anda menempatkan diri anda tak lebih dari tumpukan tulang belulang, daging dan darah saja” (I’Andi Ributtatoayya). I. Pendahuluan Gunung Bawakaraeng merupakan suatu tempat yang memiliki ketinggian 2883 mdpl (diatas permukaan laut) dengan letak geografis pada 119° 56 '40" BT ; 05°19' 01" LS ; dan berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Saat ini, nama Gunung Bawakaraeng lebih dikenal dalam aktivitas kepencintaalaman / kepetualangan, geologi, dan tradisi budaya / ritual mistis (intensitasnya telah berkurang). Pembicaraan mengenai Gunung Bawakaraeng memuncak saat terjadinya bencana alam / peristiwa longsor (lebih tepat disebut patah dan jatuh) di badan gunung tersebut dengan material buangan ±300 juta meter kubik pada 26 maret 2004. Peristiwa alam tersebut menjadi perhatian dunia internasional karena merupakan peristiwa longsor terbesar (dilihat dari jumlah buangan material) yang pernah ada di muka bumi.

II. Pengertian 
1. Nama Bawakaraeng Bawakaraeng adalah suatu nama / istilah dari bahasa Makassar , yakni ; Bawa memiliki arti : ucapan (mulut) dan Karaeng menunjukkan arti : suatu predikat yang dihormati / yang dihargai (raja); atau secara harfiah berarti mulut raja; sehingga istilah Bawakaraeng secara maknawiah menjelaskan bahwa kehormatan seseorang atau nilai diri (harga diri) seseorang terletak pada ucapannya (mulutnya). Hingga saat ini belum ditemukan suatu catatan yang menjelaskan (sejak kapan dan latar belakang) mengenai penempatan nama Bawakaraeng pada sebuah Gunung (yang ada saat ini), meskipun dapat dimengerti bahwa kebiasaan pemberian nama pada suatu tempat, umumnya berdasarkan riwayat kejadiannya. Selain Bawakaraeng, terdapat sebutan / predikat lain bagi tempat (Gunung) tersebut, yakni : Buttatoayya (dari bahasa Makassar); Butta berarti Tanah; Toa berarti Tua; dan Ayya menunjukkan (kata) sifat; sehingga secara harfiah Buttatoayya berarti Tanah yang memiliki sifat yang Tua; atau secara maknawiah Buttatoayya menegaskan sebagai suatu tempat (yang tinggi) yang dituakan (bukan tua secara geologis) karena telah dipilih / disepakati oleh para wali / para karaeng / kaum suci (Islam) sebagai tempat untuk berdoa (bersembahyang) dan bertemu untuk membicarakan kebaikan. Predikat sebagai Buttatoayya lalu didudukkan pada sebuah Gunung yang diberi nama Bawakaraeng. Predikat Buttatoayya lebih dipahami oleh pelaku tradisi budaya / ritual mistis atau mereka yang sangat mendalami kedudukan Bawakaraeng. 
2. Geologis Gunung Bawakaraeng (sekilas) Gunung merupakan suatu wilayah / tempat (morfologi) di permukaan bumi yang berbentuk tonjolan dan memiliki titik ketinggian lebih dominan dibanding titik ketinggian yang ada disekitarnya (bukit). Gunung Bawakaraeng tidak terlalu tepat untuk disebut sebagai gunung oleh karena gunung Bawakaraeng terletak atau bagian dari jajaran pegunungan Lompobattang serta salah satu puncak dan puncak tertinggi dari jajaran pegunungan Lompobattang. Beberapa puncak di jajaran pegunungan Lompobattang, antara lain : puncak Van Bonthain (umumnya disebut puncak Lompobattang), puncak Bulu Assuempolong, puncak Bulu Kaca, puncak Ko’bang, puncak Bulu Baria, puncak Bulu Porong, Puncak Bawakaraeng dan puncak Sarobaiyya. Secara geologis bermula dari terbentuknya formasi gunung api Lompobattang yang pecah (meletus) dan membentuk sejumlah kawah (saat ini lebih dikenal dengan Lembah Ramma, Lembahlowe dan Lembah Anjayya) lalu terjadinya proses pengangkatan (gunung Bawakaraeng) dan membentuk kesatuan jajaran pegunungan Lompobattang. 
3. Gunung Bawakaraeng Bersandar pada penjelasan diatas, maka dapat dipahami bahwa Gunung Bawakaraeng merupakan suatu wilayah ketinggian yang memiliki kedudukan sebagai tempat untuk berkomunikasi, berdoa (memohon, meminta) kepada Sang Maha Pencipta dan tempat untuk mendidik manusia dalam proses mencari kebaikan dalam kehidupan di dunia. Gunung Bawakaraeng merupakan sebuah gunung yang disucikan dan berfungsi sebagai tempat untuk bersembahyang. III. Tradisi Budaya (ritual mistis) Di Gunung Bawakaraeng Sejauh ini belum dan sulit ditemukan catatan atau informasi yang tepat tentang awal mula berlangsungnya tradisi mistisisme di Gunung Bawakaraeng. Tetapi dapat dipastikan bahwa tradisi ini sudah berlangsung berabad – abad lamanya (bandingkan dengan pendakian / penelitian biologi di wilayah puncak Lompobattang oleh James Brook, pada tahun 1847). Tradisi mistis tersebut dilakukan oleh lebih dari satu kelompok aliran dengan kecenderungan menutup diri, sehingga pengumpulan data akan mengalami kesulitan dan dapat menimbulkan kesimpangsiuran informasi (misalnya tradisi haji Gunung Bawakaraeng). 
4. Tentang Tradisi (Haji ?) Bawakaraeng Istilah Haji Bawakaraeng mencuat saat terjadinya peristiwa meninggalnya sejumlah orang (13 orang masyarakat umum; bukan dari komunitas pencinta alam / pendaki gunung) yang tengah melakukan perjalanan / pendakian / aktivitas di Gunung Bawakaraeng pada bulan Haji / Zulhijah (awal agustus 1987). Peristiwa tersebut kemudian di “plintir”, menjadi peristiwa haji Bawakaraeng, dan bermuara dikeluarkannya larangan oleh pemerintah daerah kabupaten Gowa untuk melakukan perjalanan / pendakian ke Gunung Bawakaraeng pada bulan Zulhijjah. Terdapat suatu kelompok / komunitas tertentu dari masyarakat di Indonesia, terutama di Sulawesi Selatan memiliki tradisi untuk selalu / secara berkala / pada saat tertentu, termasuk pada bulan Zulhijah (bulan haji) melakukan perjalanan (karena ada suatu aktivitas / tujuan yang jelas) ke Gunung Bawakaraeng. Dominan (jumlah terbesar) dari komunitas tersebut justru tidak bertempat tinggal / berdomisili dekat / di kaki Gunung Bawakaraeng. Kelompok masyarakat yang melakukan perjalanan ke Gunung Bawakaraeng pada bulan Zulhijah dapat di pilah – pilah berdasarkan sebab / tujuan, yakni : 
a. Kelompok keluarga yang menjalankan tradisi (mempertahankan tradisi) turun temurun; Shalat bersama keluarga dan berdoa memohon sesuatu (kebaikan) kepada Allah SWT, lalu bersama - sama menikmati bekal makanan yang telah dipersiapkan. Tidak ada ritual sesajenan. 
b. Kelompok yang merupakan gabungan dari beberapa kelompok kecil / individu – individu dengan seorang pemimpin; Shalat Idul Adha bersama, mendengar khotbah / petuah kebaikan, berdoa memohon sesuatu (kebaikan) kepada Allah SWT, lalu bersama – sama menikmati bekal makanan yang telah dipersiapkan. Tidak ada ritual sesajenan. 
c. Kelompok / individu yang ingin memenuhi janjinya karena suatu sebab. Shalat idul adha bersama-sama dan berdoa menyampaikan rasa syukur kepada Allah SWT karena keinginannya telah terkabul; atau perjalanan mereka baru pada tahap berdoa / memohon sesuatu (kebaikan, rezki agar bisa menunaikan ibadah haji di Tanah Mekkah, dikaruniai anak, kesembuhan dari sakit yang diderita, dll) kepada Allah SWT; lalu bersama – sama menikmati bekal makanan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tidak ada acara ritual sesajenan. 
d. Kelompok yang sama dengan diatas (a, b,c) tetapi diakhiri dengan ritual melepas hewan hidup (umumnya ayam dan kambing). 
e. Kelompok yang sama dengan diatas (a, b, c) tetapi diakhiri dengan ritual menyimpan: - makanan (nasi ketan biasa / songkolo; nasi ketan manis / waji’ / baje’), - Pangajai (daun siri, kapur siri, siri, gambir yang telah di racik). 
f. Kelompok yang melakukan semua ritual yang ada diatas. Individu – individu yang keinginan untuk menunaikan ibadah haji di Tanah Mekkah (Arab Saudi) telah terkabul; kelak akan kembali ke Gunung Bawakaraeng hanya untuk menyampaikan rasa syukur kepada Allah SWT (tidak persis sama dengan pernyataan yang mengatakan bahwa : mereka menyempurnakan hajinya di bawakaraeng; pernyataan ini memiliki kecenderungan menyesatkan pemahaman). Pointnya ialah bahwa di Tanah Gunung Bawakaraeng mereka berdoa (meminta dan menyampaikan rasa syukur) kepada Allah SWT. Memang benar bahwa beberapa tempat di Tanah Gunung Bawakaraeng terdapat / diberi nama seperti : Madinah, Makkayya (Mekkah), Titian Anjayya (jembatan sirathal mustaqim), dll. Tetapi apapun namanya, semua itu hanyalah penggambaran yang ditujukan (proses belajar) untuk menambah dan mempertinggi tingkat penghayatan / keyakinan kepada Allah SWT; sehingga tidak benar terdapat suatu aktivitas / prosesi haji di Gunung Bawakaraeng untuk memperoleh predikat haji (Bawakaraeng). 

IV. Tujuh Belas 
Petunjuk Terdapat 17 (tujuh belas petunjuk) yang sebaiknya diperhatikan jika hendak melakukan perjalanan ke Gunung Bawakaraeng, yakni : 
1. Tanah itu tempat bersujud dan berdiri. 
2. Air Bawakaraeng itu sumber kehidupan dan kebersihan. 
3. Udara itu jalan napas. 
4. Api hanyalah sementara, (ber) hati – hatilah padanya. 
5. Pintu Bawakaraeng ada 7 (tujuh), disetiap pintu wajib menyampaikan salam. 
6. ……. 
7. ……. 
8. Bersihkan diri sebelum masuk pintu. 
9. Shalatlah di pintu : 1, 3, 5, 6, dan 7 
10. Berwudhulah sebelum masuk pintu 6. 
11. Sujudlah sesampai di tujuan. 
12. Berdzikirlah disetiap napas. 
13. Berpuasalah setelah pulang. 
14. Jagalah diri (lidah dan kemaluan) 
15. Sadarkanlah pikiranmu selalu. 
16. Wanita yang berhalangan hanya dibolehkan samapi di pintu 5.
17. Jika ditimpa kemalangan segeralah berdoa kepada Allah SWT. 


Tujuh belas petunjuk diatas masih bersifat dan berbahasa pemahaman dan kesadaran sehingga perlu dijabarkan secara teknis agar mudah dimengerti dalam pelaksanaannya. Misalnya : 
- Buang air kecil (kencing) disebelah kiri dari jalan setapak menuju puncak. Saat kencing (air kencing) dilewatkan melalui media daun, kayu atau batu sebelum tiba ditanah (penghargaan kepada tanah). 
- Buang air besar disebelah kiri. Galilah lubang, tempatkan selembar daun di dasar lubang, lalu buang besar. Setelah itu timbunlah kembali. Khusus bagi kaum perempuan sebelum ditimbun terlebih dahulu tutuplah dengan selembar daun. Sebelah kiri menggambarkan sesuatu / tempat dari sesuatu. Tanah nenek moyang berarti nenek / moyang manusia adalah tanah; maka hargailah tanah jika ingin menghargai diri sebagai manusia. 

V. Nilai
Nilai pembelajaran Dari uraian singkat diatas, beberapa hal yang dapat ditarik menjadi nilai atau pesan pembelajaran (nilai edukatif) , meliputi : 
1. Percaya dan yakin terhadap eksistensi Allah SWT 
2. Percaya kepada hal gaib 
3. Diingatkan untuk shalat. 
4. Menjaga lingkungan, menghidupkan lingkungan (melepas hewan hidup). 
5. Hidup dengan rasa syukur (mau berbagi) 
6. Selau membersihkan diri dan menjaga diri. 
7.mengucapkan hal yang baik (menjaga lidah). 
8. Membiasakan diri untuk hidup dengan tata karma. 
9. Selalu memohon rahmat Allah SWT. 

VI. Penutup 
Nilai pendidikan merupakan nilai-nilai yang bersifat mendidik manusia sehingga minimal didalamnya dapat menyampaikan nilai dasar manusia. Mythos (mitos) apapun pengertiannya janganlah dikesampingkan hanya karena keterbatasan untuk mendalamiinya (dengan sains sekalipun), karena pada saat ini banyak hal yang sebelumnya disebut mythos ternyata telah dibuktikan oleh sains sebagai sebuah kebenaran. Fisik (Physical Quotient), Pikiran (Inteligentia Quotient), Hati (Emotional Quotient) dan Bathin (Spiritual Quotient); semuanya hanyalah alat bantu (teknologi alami) yang dapat membantu manusia untuk mengenal dirinya, fenomena alam dan Allah SWT. Untuk itu bangunlah pemikiran yang beriman (logika beriman). (I' Andi Ri Buttatoayya) (Catatan ini sengaja saya turunkan untuk meluruskan pemahaman yang keliru bahkan telah menjurus ke Fitnah dan Gibah terhadap Bawakaraeng - Buttatoayya sebagai sebuah Gunung; Semoga catatan ini dapat membangun sikap kehati-hatian dalam berpikir dan berbicara Bawakaraeng - Buttatoayya sebagai sebuah Gunung).




Rabu, 28 Desember 2011

Malam Minggu 24 Des 2011

senang yang ku rasakan malam itu.
akhirnya bisa bertemu dengannya.
wanita yang selama hampir sebulan.
hanya ku akrabi lewat sms dan telepon.

sesosok wanita berbaju hijau itu.
aku perhatikan dari balik kaca.
sembari melangkah ku berikan senyuman.
senyuman balasan pun dia berikan.

aku ulurkan salam pertama bertemu.
dia menyambut dengan suara kecil menyebut namanya. :D
aku yang duduk berada didepannya.
sesekali mencuri pandang melihatnya.

malam yang lucu.
salah tingkah ku dibuatnya.
malam yang indah.
senang telah bertemu dengannya.


#I feel it just as you Mrs.N !